Ketika melintasi daerah perbukitan menuju Dusun
Bangle Desa Bunutan Kec. Abang
Kab. Karangasem, Bali sayup-sayup mengalun suara gamelan
yang sangat khas dan unik. Ketika sumber suara gamelan itu didekati, tampaklah
sejumlah anak riang gembira belajar menabuh alat-alat musik berbentuk aneh.
“Ini gamelan Terompong Beruk,” ujar seorang
lelaki paruh baya yang bernama I Nengah Suparwata alias Pak Wati. Pak Wati adalah
pelatih Terompong Beruk yang hanya satu-satunya ada di Bali, yakni di Dusun
Bangle, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali. Bangle terletak di
sebelah utara Pura Lempuyang Luhur, di perbukitan dengan ketinggian 400 meter
di atas permukaan laut, dimana pemukiman penduduk berada pada kemiringan 37
derajat.
Terompong Beruk merupakan alat musik
tradisional yang sangat sederhana. Gamelan langka dan unik itu menggunakan
bilah-bilah besi, berbeda dengan terompong pada gamelan gong yang menggunakan
perunggu. Ciri khas Terompong Beruk terletak pada alat resonansi suaranya yang
menggunakan beruk (batok kelapa). Besar kecil beruk diatur dan disesuaikan
dengan nada bilah-bilah besi atasnya untuk
memunculkan nada suara yang berbeda-beda. Karena menggunakan sumber gema dari
beruk (batok kelapa) itulah gamelan ini dinamai Terompong Beruk. Hal ini
berbeda dengan terompong perunggu pada gamelan gong kebyar yang umumnya
berbentuk bulat dan terdapat benjolan di tengah-tengahnya.
Satu barung atau satu set lengkap gamelan
Terompong Beruk terdiri dari Terompong Beruk, Gangsa, Curing, Riong, Jublag,
Kemplung, Kempil, dan sejumlah alat lainnya. Semua alat itu juga dibuat dari
bilah-bilah besi yang resonansi suaranya berasal dari beruk. Sedangkan untuk Gong
dibuat dari waluh (buah labu besar) yang telah dikeringkan. Untuk menambah semarak suara gamelan, Terompong Beruk dilengkapi dengan
Suling, Kendang, Cengceng, dan lain sebagainya. Namun kini Terompong Beruk
telah diganti dengan bilah-bilah besi, meski sumber gemanya masih menggunakan
beruk. Mungkin untuk mendapat suara yang lebih keras dan alunannya panjang.
Sejarah Terompong Beruk
Sejak kapan Terompong Beruk dikenal di Bangle?
Belum ditemukan peninggalan tertulis (prasasti) yang menyebutkan sejarah
kelahiran Terompong Beruk. Pak Wati (1955) sebagai pelatih Terompong Beruk pun
tidak mengetahui sejarah keberadaan alat musik unik itu. “Saya kurang tahu
sejak kapan Terompong Beruk ada di dusun kami. Menurut orang tua, itu warisan
leluhur kami,” jelas Pak Warti. Bahkan Pak Sanu (1938), seorang pinisepuh
Bangle, juga mengatakan tidak tahu kapan Terompong Beruk pertama kali dibuat.
“Leluhur kami yang dulu membuatnya, kami hanya mewarisi apa yang ada sekarang,”
kata Sanu.
Secara sekilas, kisah keberadaan Terompong Beruk bisa ditelusuri dari
cerita para tokoh masyarakat dan pinisepuh Bangle. Cerita tersebut diwariskan
secara turun temurun hingga generasi sekarang. Ida Made Giur Dipta, tokoh
masyarakat dari Desa Culik yang pernah lama mengajar di sebuah SD di Bunutan,
telah menyusun sekelumit sejarah kelahiran Terompong Beruk berdasarkan cerita
pinesepuh Bangle.
Giur menuliskan bahwa keberadaan Terompong
Beruk berkaitan dengan pembangunan Pura Pemaksan Bangle. Ketika pura selesai
dibangun, digelarlah Upacara Dewa Yadnya, diantaranya Melaspas, Ngenteg
Linggih, berlanjut Pujawali atau Piodalan. Pada saat melaksanakan upacara
tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari pementasan tari sakral sebagai
persembahan kepada Hyang Widhi. Namun tari tanpa gamelan belumlah sempurna.
Kebetulan saat itu ada seorang warga Bangle memiliki sebuah Terompong Beruk
yang dipakai hiburan di waktu senggang.
Terompong Beruk itu kemudian dilengkapi dengan
suling, sejenis kendang (berupa dua ruas bambu yang dipukulkan di tanah), ricik
atau cengceng dari besi bekas singkal dan kejen (alat membajak sawah). Dari
alat-alat itu terbentuklah sebuah perangkat gamelan yang masih sangat
sederhana namun sangat bermakna dalam mengiringi pementasan tarian sakral pada
saat itu.
Seusai upacara besar itu, para pinisepuh Bangle
kemudian berembug dengan para prajuru Pura. Mereka mulai berpikir membuat
seperangkat gamelan Terompong Beruk yang lebih lengkap dengan bahan-bahan yang
ada di dusun mereka. Sebab mereka belum mampu membeli satu perangkat gamelan
perunggu yang harganya sangat mahal.
Seperangkat gamelan Gong Beruk pun dibuat oleh
warga Bangle. Terompong Beruk itu kemudian dilengkapi dengan Gangsa, Curing,
Jublag, Jegog, yang semuanya dibuat dari bilah-bilah kayu lengkap dengan beruk
sebagai resonansi suara dan nada. Sedangkan gongnya dibuat dari bilah bambu
petung atau kayu lekukun, sedangkan pelawahnya dibuat dari waluh (labu besar)
agar menghasilkan suara yang mengalun panjang. Cengcengnya dibuat dari besi
bekas singkal dan kejen (alat membajak tradisional).
Menurut Pak Wati, ada beberapa tabuh atau
gending yang sering dimainkan dengan menggunakan perangkat Gong Beruk.
Nama-nama tabuhnya juga khas dan unik, seperti: Tabuh Gelagah Manis, Tabuh Nem
Cenik, Tabuh Nem Gede, Tabuh Kutus Cenik, Tabuh Kutus Gede. Jenis-jenis tari
yang sering diiringi dengan Gong Beruk adalah Tari Pendet, Gandrung, Legong
Sambeh Bintang, Rejang Lilit, dan Igel Desa. Gong Beruk itu selalu
dipakai untuk mengiringi tari-tarian saat piodalan atau Pujawali di Pura
Pemaksan Bangle yang berlangsung bertepatan dengan purnamaning Sasih Ketiga.
Melestarikan Warisan Leluhur
Pada mulanya tidak banyak orang yang mengetahui
keberadaan Gong Beruk, hanya dikenal di sekitar Dusun Bangle. Bahkan
dusun-dusun di sekitar Bangle pun tidak mengetahui atau mengenal gamelan unik
itu. Terompong Beruk mulai dikenal masyarakat luas pada tahun 1979. Saat itu
Sekaa (Grup) Terompong Beruk Bangle mewakili Kabupaten Karangasem tampil untuk
pertama kalinya dalam Pesta Kesenian Bali di Denpasar.
Keberadaan Terompong Beruk di Bangle tentu membuat bangga warga Bangle
karena alat musik itu hanya ada di wilayah mereka. Hal itu diakui oleh Kelian
Adat Banjar Bangle, I Nyoman Panda. “Kami bangga mewarisi alat gamelan unik
yang hanya ada di Bangle. Kami terus mendorong anak-anak belajar menabuh
Terompong Beruk untuk melanjutkan warisan leluhur kami,” ujar Panda.
Sampai saat ini ada sekitar 30-an anak-anak
dari Bangle yang ikut pelatihan menabuh Terompong Beruk. Anak-anak tersebut
sangat antusias mengikuti pelatihan. Seorang peserta, I Wayan Putu, mengatakan
ikut pelatihan Terompong Beruk untuk melestarikan kesenian tersebut. Hal itu
ditegaskan oleh I Wayan Suastama dan I Ketut Subawa yang sama-sama ingin
memajukan dusunnya dengan tekun berlatih Terompong Beruk. “Kami ingin
melestarikan warisan leluhur,” ujar Suastama.
Sumber:
December 16, 2008 Wayan Sunarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar